Tari guel
Seorang bocah
berkostum tari guel.
Tari guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di
daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para
peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekadar tari. Dia merupakan gabungan
dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tari guel timbul tenggelam,
namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan
kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari
ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra,
musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan
semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya
filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini
menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.
Pemda Daerah
Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim
dibawah koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah
nama Drs Asli Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir
yang terjun melakukan survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi
muda, seniman, budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna
tentang tari guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya coba kemukakan,
apalagi memang dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.
Mimpi Sengeda
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tanah Gayo. tari guel berawal dari mimpi seorang pemuda
bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara
kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan.
Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda (adiknya),
tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam.
Adalah sang putri Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.
Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang
Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh
Darussalam (sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan sidang tahunan
Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa
serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main
di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan.
Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu
silam, lalu sesuai petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah
seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu),
setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak
disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang
Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan
berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud asli.
Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda
menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan
pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule.
Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari guel
berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan
meembakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang
kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda
pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah.
Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak
keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang
Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah
masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi
kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah.
Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam
tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan
rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan
tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan
salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah
pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan
rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur (jeruk purut)
dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri
Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun
kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian Tari guel dalam
perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang
Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan
kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.
Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari guel, yang
sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap
mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah: dalam
Tari guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari guel, Sengeda kemudian
diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau
Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah
Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur,
Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi)
atau dikenal dengan bertih.
Penari
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari
Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pegasing, Aman Rabu di kampung
Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweren. Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih
hidup adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara
Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu
rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi
penari menjadi hambatan serius.
Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri,
bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari pakar
seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para pendahulunya.
Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka,
apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di
Kemili Bebesen.
Tari guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri
dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka.
Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk,
Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan.
Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya
terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 (
Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan
primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah
penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh canang, gong, gegedem, dan
memong.
Tari guel memang unik, pengalaman penulis merasakan
mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila
para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah
Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa.
Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya
memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas
terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan
mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari babakan ke
babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian
sepasang kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. idak ada yang menang dan
kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata
adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari guel itu seperti kehilangan
Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar
modern seperti Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.
Referensi
- Junus Djamil, Gadjah Putih, Banda Aceh, Lembaga Kebudayaan Atjeh, 1958
- Ridwan H. Muchtar, Hikayat Tari guel, Serambi, Rabu, 31 Desember 1969
Pranala luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar