Suku Gayo
Suku Gayo
|
Potret Pengantin Pria
Gayo Pada Awal Abad ke-20
|
336.856[1]
|
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
|
Kelompok etnik terdekat
|
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami
provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.[2] Wilayah tradisional suku Gayo meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Selain
itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Tamiang,
dan Aceh Timur.[3]
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal
taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan sehari-hari mereka.
Bahasa
Bahasa
Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai
bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan
bahasa Suku Batak Karo di Sumatera Utara.
Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest
Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.
Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo
turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop,
sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan
Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih
dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang,
sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara.
Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena
interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas
Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek
Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik
merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari
subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi
sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk
menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi
(Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek
Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama
atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan
dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, (memanggil seseorang) dengan
panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa
hormat. Pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda). Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau
lebih tua kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Bahasa Gayo Lut
dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Marga
Walaupun sebagian besar masyarakat suku Gayo tidak
mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang menabalkan
atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah
Bebesen.Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/Garis keturunan
Individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di
pentingkan.Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:
·
Ariga
·
Cibero
·
Linge
·
Melala
·
Munte
·
Tebe
·
Alga
Marga uken
·
Bukit
-Bukit eweh
-Bukit lah
·
Jongok
·
Gunung
·
Kala
Sejarah
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan
Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak.
Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu
Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang
kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang
tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak
Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah
Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang
dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri.
Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan
Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge
turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege
sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai
sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut
riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege.
Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.[4]
Dinasti Lingga
1. Raja Sebayak Lingga di
Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
2. Raja Meurah Johan
(pendiri Kesultanan Lamuri)
3. Meurah Silu anak dari
Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Linge II alias
Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di
Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi
Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru
di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII
diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan
Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup
Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi.
Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak
Lingga (pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak
Lingga
Kehidupan sosial
Rumah Adat Gayo Pitu
Ruang
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang
disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa
unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan
bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah
merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan
hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan
prinsip patrilineal. Sistem
perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa
keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu
beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak
keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata
pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu
hasil hutan.
Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam,
dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama
tanaman Kopi Gayo. Kerajinan
membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya
daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik
mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian
adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.
Seni Budaya
Kubur tradisional
orang Gayo
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang
hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk
kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk
hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,
penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan
struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti
tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan
membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai
ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu).
Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel).
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang
ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai
tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh
masyarakat Gayo.
Seni dan Tarian
·
Didong
·
Didong Niet
·
Tari Munalu
·
Tari Sining
·
Tari Turun ku Aih Aunen
·
Tari Resam Berume
·
Tuah Kukur
·
Melengkan
·
Dabus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar